Benedictus melangkahkan kakinya meninggalkan kendaraan beroda empat yang sudah terparkir apik pada halaman rumah kekasihnya, Jeremiah. Ia membawa tubuhnya memasuki kediaman sang kekasih dengan senyum merekah yang menghiasi wajah tampannya, pemuda ini membawa dua paperbag dalam genggamannya.
“Loh, Ben kok kamu ke sini sendiri, kenapa gak minta Jeremiah buat jemput, Sayang?” tanya perempuan paruh baya kepada Benedictus.
“Eh, Mama. Bene lagi mau ke sini sendiri aja kok, masa minta tolong Jere terus sih buat jemput,” balas Benedictus kepada sang puan di hadapannya, Ia adalah ibunda Jeremiah.
“Ma, aku buat bolu tadi, iseng aja sih hehe. Nanti dimakan ya.” Benedictus meletakkan satu paperbag dalam genggamannya yang berisikan kue ke atas meja makan.
“Makasih ya, Bene. Jadi ngerepotin gini deh,” ucap sang puan berterima kasih kepada pemuda di hadapannya.
“Naik gih, Jeremiah tuh dari tadi sebelum kamu dateng cuman mondar-mandir aja. Disuruh main sama Nicholas malah gak mau, yaudah ya mama ke depan dulu mau benerin tanaman.” Sang puan tersenyum kepada Benedictus, kini ia melangkahkan kakinya menuju taman.
Benedictus telah membawa dirinya menuju kamar sang kekasih di lantai dua. Ia mengetuk pintu putih di hadapannya sebelum tangannya membuka gagang pintu tersebut. Pintu terbuka menampilkan ruangan yang sudah tak asing bagi Benedictus. Ia melangkah masuk, terlihat Jeremiah sang kekasih sedang terduduk di atas sofa hitam.
“Hai, Manis. Sini duduk.” Jeremiah memberi beberapa tepukan pada pahanya sebagai isyarat untuk sang kekasih mendudukkan diri di atas pangkuannya.
Benedictus menghampiri, membawa dirinya ke dalam pangkuan sang kekasih. “Aku bawa sesuatu buat kamu dong, hehe,” ucap Benedictus, senyumnya masih setia terukir di wajah indahnya. Tangannya terangkat guna menunjukkan paperbag yang ia bawa untuk Jeremiah.
“Widih, apa nih?” tanya Jeremiah, tangannya terangkat ingin menyentuh paperbag tersebut, namun Benedictus menjauhkan barang dalam genggamannya itu, mengangkatnya lebih tinggi agar sang kekasih tak dapat menyentuhnya.
“Sabar dulu dong, ganteng. Gak sabar banget ya,” ucap Benedictus.
Pemuda yang tampak nyaman berada di dalam pangkuan ini masih tetap setia tersenyum, matanya yang indah menatap manik coklat di depannya. Benedictus seperti terkena sihir sang rupawan, pandangannya terpaku pada mahakarya indah ciptaan Sang Esa.
“Hey, mau natap aku sampai kapan, Bene?” tanya Jeremiah menyadarkan Benedictus.
Benedictus yang telah tersadar, kini ia memindahkan tubuhnya, membawa dirinya untuk duduk di samping Jeremiah.
“Kalau mau tau aku bawa apa, cium dulu dong,” ucap Benedictus, jari telunjuknya ia bawa ke salah satu pipinya, mengisyaratkan Jeremiah untuk segera memberikan ciuman.
Cup. Jeremiah dengan cepat memberikan ciumannya, namun bukan ditempat yang Benedictus tunjukkan, melainkan ia mendaratkan kecupan pada bibir merah jambu milik sang kekasih. Sontak sang empu yang diberikan kecupan hanya bisa membelakkan matanya, dirinya masih terdiam tanpa berkedip. Cup, Jeremiah kembali menempelkan bibir mereka, namun kali ini ia sedikit memberi lumatan kecil pada belah bibir Benedictus yang sedikit terbuka, menjadikannya sebuah pangutan.
Benedictus membawa jemarinya untuk berada di atas belah bibirnya yang sedikit terbuka, lalu ia mengejapkan mata. Walaupun ini bukan pertama kalinya ia diberikan ciuman oleh Jeremiah, namun tetap saja ia seringkali terkejut dengan perlakuan yang diberikan secara tiba-tiba. Jeremiah dengan senyuman kecil, ia menatap sang kekasih yang terdiam dengan kedua pipinya yang sudah merah merona. Menggemaskan, batinnya.
“Hey, kok malah diem aja sih, ganteng?” tanya Jeremiah sembari jemarinya memberikan sentilan kecil pada dahi sang kekasih. Hal ini membuat Benedictus kembali dari lamunannya.